Perjalanan Sakral Mengulur Naga: Menghormati Roh Sungai dan Warisan Leluhur di Kerajaan Kutai
English Version: Mengulur Naga
Pagi di Keraton Kutai
Suara gemuruh masyarakat mulai terdengar sejak matahari belum sepenuhnya terbit. Para pengabdi ritual, baik lelaki maupun perempuan, mempersiapkan diri dengan pakaian tradisional, membawa sesajen, dan melakukan persembahan di halaman keraton.
Dewi (Wanita pengabdi ritual): "Hari ini adalah hari yang kita tunggu-tunggu setiap tahun. Ritual Mengulur Naga harus dijalankan dengan penuh kehormatan, demi menjaga keseimbangan antara dunia manusia dan dunia gaib."
Jagat (Pria pengabdi ritual): "Benar. Sang Naga bukan sekadar simbol, tapi jiwa dan pelindung Kutai. Kita mewakili leluhur kita hari ini, berbicara dengan roh sungai dan naga itu sendiri."
Rombongan ritual mulai bergerak membawa replika Naga Bini dan Naga Laki, keduanya diarak perlahan ke atas perahu. Masyarakat sekitar bersorak, melemparkan beras dan bunga sebagai tanda hormat.
Penonton: "Lihat! Naga itu benar-benar megah! Bahkan dari sini terlihat seperti hidup!"
Anak kecil: "Ibu, apa naga itu sungguhan bisa hidup?"
Ibu: "Dikatakan bahwa Naga Bini dan Naga Laki adalah jelmaan makhluk legendaris. Dahulu, naga dari dasar Sungai Mahakam-lah yang membawa Putri Karang Melenu kepada kakek kita, leluhur Kerajaan Kutai."
Perjalanan Menuju Kutai Lama
Di tengah perjalanan sungai, perahu yang membawa replika naga berhenti di beberapa tempat. Para pengabdi ritual turun ke tepi sungai, menyalakan dupa, dan melakukan tarian khusus yang disebut sebagai cara mereka ‘berbicara’ dengan dunia gaib.
Dewi: (berbisik sambil mengangkat tangannya ke langit) "Oh, leluhur yang agung, terimalah persembahan kami. Bimbinglah naga ini kembali ke asalnya dengan damai. Biarkan kita hidup dalam kesejahteraan dan kemakmuran."
Jagat: "Kami mohon, berikan kami tanda bahwa roh-roh leluhur telah mendengar doa-doa kami."
Tiba-tiba, angin bertiup kencang di sekitar sungai, membuat dedaunan bergetar dan air bergelombang kecil.
Penonton (berbisik kagum): "Itu tanda dari leluhur... mereka menerima persembahan ini."
---
Di Jaitan Layar, Kutai Lama
Setibanya di Jaitan Layar, kapal berputar sebanyak tujuh kali. Para pengabdi ritual memercayai bahwa ini adalah bentuk penghormatan terakhir bagi naga.
Dewi (mengikat tali pada kepala dan ekor naga): "Kepala dan ekor ini akan kita simpan di Keraton, sebagai simbol keberlanjutan kehidupan dan keberanian. Tubuh naga, biarkan ia kembali ke sungai dan mengarungi dunia mereka di dasar air."
Jagat: (menarik tubuh naga ke tepi kapal) "Wahai Naga Bini dan Naga Laki, jaga kami semua. Kami lepaskan kalian kembali ke dalam pelukan sungai."
Saat tubuh naga mulai dilabuhkan ke sungai, masyarakat di tepian mulai berebut bagian-bagian sisik naga yang tersisa.
Penonton (menyentuh sisik naga): "Sisik ini akan kubawa pulang, katanya bisa mengabulkan harapan, semoga keluarga kami senantiasa diberkati."
---
Penutup di Keraton
Setelah ritual selesai, kepala dan ekor naga dibawa kembali ke Keraton Kutai untuk disimpan dan digunakan di tahun berikutnya. Para pengabdi ritual berkumpul, menyelesaikan upacara dengan ucapan doa.
Dewi: "Ritual ini mungkin terlihat sederhana, namun makna dan kehadiran leluhurlah yang membuat kita semua tetap bersatu. Sampai tahun depan, wahai roh para leluhur."
Jagat: (mengangguk pelan) "Sampai kita bertemu lagi di Festival Erau berikutnya, dengan berkah yang lebih besar."
Sorak-sorai masyarakat Kutai menggemakan tepian sungai. Harapan dan doa terwujud dalam ritual, menciptakan harmoni antara manusia, alam, dan dunia gaib.
---
Ritual Mengulur Naga yang penuh khidmat ini menggambarkan tidak hanya kepercayaan, tetapi juga hubungan antara manusia, leluhur, dan alam semesta. Rasanya seperti ada kehidupan tersendiri dalam replika naga tersebut, seakan legenda Putri Karang Melenu dan Aji Batara Agung Dewa Sakti masih bernafas di setiap upacara yang diadakan.
---
Pesan Moral:
Ritual Mengulur Naga menjadi pengingat pentingnya keharmonisan antara manusia, alam, dan dunia spiritual. Upacara ini menekankan penghormatan terhadap lingkungan, kebijaksanaan leluhur, dan keyakinan bahwa semua makhluk—baik yang terlihat maupun tidak—saling terhubung. Tradisi ini mengajarkan bahwa dengan menghormati roh serta menjaga alam, manusia memastikan kesejahteraan dan keseimbangan untuk generasi yang akan datang.